Archive for October, 2007

ANARKISME

ANARKISME BUKANLAH KEKACAUAN ATAUPUN TINDAKAN YANG MERUSAK

ANARKISME MENGHANCURKAN INSTITUSI BUKAN KEHIDUPAN

ANARKISME ADALAH SEBUAH FILOSOFI DARI KEMERDEKAAN, KEADILAN SOSIAL, DAN RESPEK PADA KEHIDUPAN. BERGABUNGLAH BERSAMA KAMI. BERSATU DAN BERJUANG DEMI SEBUAH DUNIA YANG LEBIH BAIK.

MARJINAL

Komunitas Marjinal lahir tidak lepas dari kondisi masyarakat yang tertindas. Dan perlu diketahui bahwa Marjinal tidaklah sebuah group band (walaupun rockstar semuanya he he hee) tetapi Marjinal lebih mengaktualisasikan dirinya debagai komunitas.
Marjinal juga terkenal sebagai Taring Babi, AFRA (Anti Fasis Anti Rasis), dan Tempe Quality. Ini mempunyai arti bahwa mereka ingin menghancurkan system kepakeman yang berlaku sekarang ini.
Marjinal adalah komunitas yang terbuka untuk siapa saja yang ingin ikut melawan penindasaan dengan acara yang independen, kreatif, dan adil.

Kegiatan
Selain bermusik, Marjinal juga terlibat aktif dalam gerakaan perlawanan terhadap system yang menghegemoni. Marjinal sering melakukan pengorginisiran dan bekerja sama dengan komunitas yang lain. Marjinal juga melakukan perlawanan lewat graffiti, cukil, sablun, emblem, pin, dan rumah komunitas marjinal selain sebagai ‘home base’ juga sebagai media pendidikan dan distro.

Pertemuan Kelompok Anarkis dan Punk

Pada tempat dan waktu yang sama, kelompok punk juga melakukan aksi yang “serupa” dengan kelompok anarkis, mereka “bergabung” dalam satu “barisan” yang sama. Dari kejauhan mereka terlihat sama, “tanpa ada satu titikpun” yang bisa membedakan antara punk dan partisan jaringan anti otoritarian. Yang akhirnya bisa membedakan antara dua kelompok itu adalah tujuan melakukan aksi mayday. Jaringan anti otoritarian menegaskan yang mereka lakukan adalah (semacam) aksi kelas, sementara kelompok punk menyatakan kalau yang mereka lakukan adalah semacam aksi moral untuk mendukung “kawan-kawan” buruh. Dari sini terlihat sangat jelas perbedaan dua kelompok tersebut. Jaringan anti otoritarian adalah kelompok yang “dipenuhi” dengan intelektual organik dan kelompok punk dipenuhi dengan manusia-manusia yang terkondisikan oleh media.

Intelektual organik, berbeda dengan intelektual tradisional yang merasa dirinya sebagai kelas terpisah dari masyarakat, mengakui dirinya merupakan bagian dari suatu komunitas yang menyadari fungsinya tidak saja secara ekonomi tetapi juga sosial-politik. Dalam pengertian Gramscian, inteletual organik tidak hanya secara sederhana menjelaskan kehidupan sosial menurut aturan ilmiah, tetapi lebih pada mengartikulasikan, melalui bahasa kebudayaan, perasaan dan pengalaman yang tidak bisa diekspresikan oleh massa.

Dalam jaringan anti otoritarian, intelektual organik telah menubuh dalam jaringan ini dan bahkan pembentukan jaringan ini tidak bisa dipisahkan dari kehadiran para intelektual organik. Hal ini bisa “dibuktikan” dari graffiti-graffiti yang mereka buat dan spanduk yang mereka bawa sepanjang aksi mayday. Misalnya kalimat yang tertulis dalam spanduk mereka; “Kamu tidak butuh bos, bos butuh kamu”. Kesadaran semacam ini (menurut saya) tidak akan dimiliki oleh “kelas pekerja biasa”, disini saya tidak ingin mengatakan kalau “kelas pekerja biasa” adalah sekelompok pandir, tidak. Tapi dengan situasi dimana mereka dikondisikan untuk tidak bisa menyerap informasi yang mencukupi, saya kira kesadaran bahwa mereka adalah kelas terpenting dalam proses produksi tidak mendapat tempat di kepala mereka. Berbanding terbalik dengan kelompok punk yang menyatakan bahwa mereka melakukan aksi moral mendukung “kawan-kawan” buruh. Dua kata itu, aksi moral, pasca peristiwa ‘98 hampir setiap hari tersiarkan lewat media. Jika kelompok punk di Indonesia “dikategorikan” sebagaimana Dick Hebdige dalam “Hiding In The Light” menyatakan bahwa punk adalah most depressed communities government cuts in welfare, housing, education, saya kira tidak sepenuhnya tepat demikian yang terjadi di Indonesia. Tampilan luarnya, style-nya, mungkin mengesankan hal itu, cara mereka “bersenang-senang” dengan mengamen dan nongkrong di jalan mungkin menegaskan hal itu. Tapi tidak itu yang “sebenarnya”, saya cenderung memasukkan mereka dalam “kategori” anak muda kelas menengah yang berusaha keluar dari parents culture yang menjejalkan pada mereka apa yang harus dan tidak boleh dilakukan. Kesan itulah yang saya dapatkan setelah beberapa tahun berada dalam komunitas punk, jadi ini sebenarnya adalah pendapat yang saya dapat dari pengalaman saya sendiri.

Punk sendiri adalah sebuah subkultur kelas menengah yang mapan, dimana cara mereka untuk “bersenang-senang” lebih memilih cara white working class (alias punk) di Inggris dalam menghadapi hidup yang mana cara itu mereka temukan dalam media-media formal sebagai contoh, bisa disebut majalah Hai di Indonesia[5]. Menurut saya hal ini berhubungan dengan kemapanan mereka sebagai kelas menengah dan ke-labil-an kelas pekerja. Kelas pekerja di Indonesia begitu “rawan” dengan kejadian-kejadian yang “berbahaya” untuk ditempati dengan nyaman oleh kelompok ini[6]. Dengan demikian, peniruan yang nanggung ini adalah strategi “berjaga-jaga” jika sewaktu-waktu kejadian semacam ini terulang, maka dengan mudah kelompok punk ini bisa “melompat” kembali pada kenyamanan kelas menengah yang lebih diuntungkan oleh aturan-aturan kuasa[7]. Penggunaan kata “aksi moral”, itu sendiri (menurut saya) masih menandakan kalau mereka, para punk, belum sepenuhnya bisa melepaskan diri dari parents culture yang coba mereka tinggalkan. Kalimat “aksi moral” itu saya kira mencerminkan dukungan kelompok punk, dengan demikian mereka mengandaikan dirinya bukan sebagai bagian dari kelas pekerja, mereka berada diluar kelas tersebut. Bayang-bayang kuasa parents culture masih melekat pada diri mereka melalui media formal dimana mereka mendapat “ketegasan” identitas mereka sebagai punk. Graffiti yang dibuat oleh kelompok punk terbaca berbeda dengan graffiti dari kelompok jaringan anti otoritarian, graffiti para punk terkesan lebih “abstrak”. Graffiti mereka berbunyi “Energi baru=hutang baru”. Saya kira dari kalimat inilah kemudian punk dan jaringan anti otoritarian “berpisah” meskipun model aksi dan style mereka terlihat sama. Perpisahan ini jelas terlihat dari sisi pesan yang ingin ditunjukkan dari graffiti tersebut. Dalam tubuh jaringan anti otoritarian pesan “global” dalam rangka hari buruh jelas terlihat, sementara dari kelompok punk hal ini tidak jelas terlihat. Dan kalimat yang menegaskan kehadiran kembali anarkis(me) juga jelas terlihat dalam graffiti mereka.


[1] Kata “berafiliasi” disini sebenarnya saya tidak begitu yakin ketepatan penggunaannya, karena antara Affinitas dan FNB partisipannya sama, yang membedakan hanya ketika mereka melakukan aksi. Menurut saya perbedaan nama itu hanyalah sekedar label untuk suatu aksi yang mereka lakukan. Sekedar catatan tambahan, beberapa jaringan anarkis biasanya “memiliki” dan atau “berafiliasi” dengan FNB di daerahnya masing-masing, tapi ada juga beberapa daerah yang tidak “memiliki” FNB. Informasi terakhir yang saya dapat dari teman-teman anti otoritarian, di Salatiga sedang merancang juga pembentukan FNB yang berkonsentrasi pada aksi penolakan pembangkit tenaga nuklir, FNB di Salatiga direncanakan memiliki alias Food Not Nuke.

[2] Mengenai aksi di Seattle lihat: Reclaim The Street, Film dokumenter aksi Seatle

[3] Lihat: Noam Chomsky, Kuasa Media, terj. Nurhady Sirimorok, Penerbit Pinus, Yogyakarta, 2005

[4] Lebih lanjut tentang kekerasan dalam punk lihat: Straighthate zine edisi punk is dead dan mawarhitam zine.

[5] Sekitar tahun 96-98 (tahun kemunculan punk di Indonesia) majalah remaja Hai, banyak memuat artikel-artikel tentang fashion punk di Inggris dan Amerika, namun hanya sebatas pada musik dan gaya berpakaian tidak sampai pada unsur-unsur “aksi radikal” kelas pekerja-nya.

[6] Lihat: kasus Marsinah dan atau Udin (yang belum “terpecahkan” sampai sekarang) atau (katakanlah) stigma (yang masih) menakutkan; dicap sebagai PKI.

[7] Lihat misalnya: (Bali Post, tahun 2006?) kasus penghinaan oleh kelompok punk di Singaraja, Bali, kepada aparat kepolisian. Setelah beberapa orang punk ditangkap, salah satunya ternyata adalah anak pejabat kepolisian, sebuah kisah (indah) kelompok punk yang sudah tertebak; mereka dibebaskan begitu saja, dengan alasan penghinaan itu adalah suatu bentuk kenakalan remaja biasa. Kisah selanjutnya: case closed!

Apa itu “anarkisme”? apa itu “anarki”? siapa sih para “anarkis” itu?

Anarkisme adalah sebuah ide tentang hidup dengan cara yang lebih baik. Sedangkan Anarki adalah sebuah cara untuk hidup.

Anarkisme menganggap bahwa pemerintahan ( Negara ) itu bukan saja tidak diperlukan tapi juga berbahaya. Para anarkis adalah mereka yang mempercayai anarkisme dan memiliki hasrat untuk hidup di dalam anarki sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para leluhur kita dulu. Mereka yang mempercayai pemerintahan ( seperti kaum liberal, Marxis, Konservatif, sosialis dan fasis ) dijuluki sebagai “statist.”

Awalnya anarkisme mungkin terkesan sangat negatif – karena oposisinya yang mentah. Namun sebenarnya, para anarkis memiliki banyak ide positif mengenai hidup di dalam sebuah masyarakat tanpa pemerintahan. Tidak seperti para Marxis, Liberal dan konservatif, mereka sama sekali tidak menawarkan sebuah cetak biru dari masyarakat

MARJINAL a.k.a ANTI MILITARY

Dibawah ini adalah wawancara dengan Marjinal, band yang terkenal sebagai band yang memiliki semangat perlawanan yang kuat… Wawancara ini dikutip dari KEMERDEKAAN ZINE
Pertanyaan yang sangat membosankan, tolong ceritakan awal berdirinya band kalian, MARJINAL dan siapa saja tukang protes didalamnya………. Awal kami membentuk band itu pada tahun 1997, dengan bersandang nama ANTI ABRI, dimana secara kebetulan kami anti kekerasan, dan ABRI salah satu kuat membudayakan kekerasan. Kami sering bermain pada event-event bebas. Disaat-saat selalu bersama-sama (dadakan), lantas kami buat ANTI-MILITARY, karena ABRI sudah diganti. Yang album pertama pada tahun 1999, album kedua pada tahun 2000 dengan personil yang selalu berganti-ganti dan kami suka itu. Dan yang terdata, ROMY JAHAT (biduan), CHE MONKEY (ritem), BOB Oi! (bas), STEVE (dram), MIKE (melodi), ACAY LEE (dram), EKAL (vokal), SISI (vokal), ABLEH (ritem), ASEP (vokal) dan ARIEF (dram)…..yang sekarang…..lalu, kami keluarkan MARJINAL. Semua tukang protes.

Dulu nama band kalian adalah ANTI-MILITARY, mengapa kalian merubah nama band kalian menjadi MARJINAL, tolong ceritakan latar belakang kalian merubah nama band kalian………. Kebutuhan kami membuat nama MARJINAL dikarenakan masih memiliki hubungan dengan Anti ABRI dan Anti Military….. dan perlu digaris bawahi kami tidak mengganti nama tapi kami membuat dan menggunakan nama MARJINAL sebagai proses titik balik untuk menjawab persoalan-persoalan obyektif. Agar, minimal diketahui oleh khalayak banyak seperti istilah Anti ABRI, Anti Military. Kenapa harus anti dan istilah MARJINAL, siapa itu ‘Marjinal’, bagaimana terjadinya marjinalisasi dan lain-lain. Demikian kawan!

Dalam lirik kalian sebelumnya (Anti-Military), banyak sekali konsep pemikiran budaya perlawanan khususnya Anarkis serta variannya. Tolong ceritakan cara pandang kalian tentang konsep pemikiran tersebut………. Kami lebih memfungsikanAnarkisme dan variannya adalah sebatas referensi, bukannya mengadopsi mentah. Kami lebih mengupayakan melihat, merasa, mendengar dan meraba situasi serta kondisi yang mempengaruhi kami.

Dalam bermusik, tentu kalian lebih mengutamakan lirik. Sejauh mana pandangan kalian tentang konsep lirik tersebut dan bagaimana juga cara kalian dalam merealisasikannya dalam masyarakat………. Sejauh mataku memotret kejadian, sejauh aku mengepakkan sayap dan merambat. Dan sejauh roda gerigi otak-otakku bekerja. Dengan banyak cara dan kami percaya dan yakini ada 1001 macam aksi yang dapat kami lakukan. Adalah sebuah kontradiksi, untuk membantu menciptakan sebuah pemikiran yang notabene masyarakat kita selalu diorientasikan dalam pemikiran yang seragam dan searah. Masyarakat yang berdiri diatas nilai-nilai kemanusiaan, tolong-menolong, si kaya bantu si miskin, kuat bantu lemah, saling menghormati dan menghargai. Kami tidak bisa mendeteksi hal itu, terserah! …..Yakin, karena manusia itu adalah berfikir secara rasional.

Bagaimana pandangan kalian tentang politik dan punk, apakah bisa berjalan/ seimbang, sedangkan secara obyektif punk yang selama ini merupakan Counter-Culture (budaya perlawanan), sekarang ini telah mengalami dekadensi dan pola gerakan mereka yang cenderung berjalan sendiri-sendiri dan bergerak secara elitis. Malahan cenderung menciptakan suatu kontradiksi di dalamnya. Contohnya antara apolitikal dan politikal, bagaimana pandangan kalian dalam hal ini………. Pandangan kami dalam hal ini bahwa politik bisa berjalan seimbang dengan punk, karena punk itu sendiri adalah politik dan politik yang melahirkan punk. Tanpa politik takkan melahirkan punk, dan bila hanya punk hanya itu hanya sebuah kata tidak melahirkan tindakan, karena politik (POLI dan TIK = banyak cara. Pandangan kami dalam kontradiksi di dalam punk adalah sesuatu yang wajar dan kami melihatnya sebagai proses pendewasaan (kontradiksi melahirkan dialektika).

Menanggapi masalah globalisasi yang sudah masuk ke negara-negara dunia ketiga (khususnya Indonesia), yang berbasis pada industrialisasi dan ekonomi secara struktural, cara-cara apakah yang relevan untuk membendung ruang gerak mereka selama ini………. Bentuk sel-sel baru, untuk menggempur lawan dengan syarat terjun ke kantong-kantong masyarakat untuk belajar dan bekerja sama-sama. Yakini tanpa mereka (masyarakat) tidak akan pernah menciptakan perubahan.

Proses reformasi dan demokratisasi yang selama ini diagungkan oleh rakyat Indonesia, tidak berjalan seperti yang mereka impikan. Bagaimana tanggapan kalian dalam hal ini? Dan tatanan masyarakat yang bagaimana yang kalian inginkan………. Ya, jelaslah…..proses reformasi dan demokratisasi hanya menjadi terminologi untuk mengantar sebuah kekuasaan baru. Jadi impian masyarakat mengenai demokrasi hanya sekedar impian tok, jikalau sistem yang masih dikuasai oleh segelintir kaum minoritas. Tatanan masyarakat yang berasakan nilai kemanusiaan. Manusia makhluk yang sosial, manusia makhluk yang berpikir, makhluk yang merdeka, yang bukan gembala dan yang berakal budi pekerti yang tinggi.

Oke, kembali berbicara tentang MARJINAL, terpikir tidak dalam diri kalian untuk bergabung dengan major label dengan tujuan untuk mensosialisasikan ide-ide penikiran kalian dalam jangkauan masyarakat luas dan secara tidak langsung memberikan penyadaran kepada mereka. Contoh seperti RAGE AGAINST THE MACHINE, CHUMBAWAMBA ataupun IWAN FALS (seperti album lamanya), bagaimana menurut kalian………. Terpikir sih, tapi kami tidak tertarik tuh, dengan disiplinier recording Indonesia khususnya. Biasanya yang menciptakan teman-teman menjadi obyek, berbeda dengan CHUMBAWAMBA, R.A.T.M dan IWAN FALS. Mereka telah memenangkan pasar. Oleh sebab itu, mari kita ciptakan kerjasama yang kuat dilingkungan kita, pada khususnya. Dengan ciptakan masyarakat yang kreatif dan produktif sebagai perlawanan terhadap kapitalisme.

Mendengar kabar bahwa salah satu album kalian, dirilis juga oleh salah satu rekord di Australia. Bisa ceritakan hal itu………. Tepatnya kami tidak tahu rekord tersebut. Tetapi yang kami tahu kaset kami akan dibajak disana oleh sekelompok kawan yang tergabung didalam komunitas sosialis di Australia.

Untuk menutup interview ini, ada yang kalian ingin sampaikan untuk semua yang membaca interview ini………. Jangan hanya untuk percaya saja karena manusia diciptakan untuk berpikir.

Mungkin aku Aneh tapi aku tidak GOBLOK

Setelah dah lama ga liat aksi anak-anak Underground akhirna semalem kesampean juga berkat informasi dari temenku. Gak tunggu lama langsung berangkat, pas dah nyampe sana kebetulan ada bintang tamu dari luar negri Mr. Sterile Assembly (New Zealand) yg lagi Indonesian Tour. Penilaianku tentang groupnya Mr. Sterile Assembly ???!! Selama suka dengerin lagu-lagu keras (underground) baru kali ini dengerin lagu paling buruk and ga dimengerti. Lagu yg di kombinasikan dengan terompet kedengerana tambah buruk, aku lebih berani group band-bandnya Bandung ketimbang group band dari negri New Zealand (jauh sekale perbedaan kualitas musikna).

Saking nahan kangenna sama lagu-lagu underground khusuna Punk, sebelum ke tempat parade udah ngebayangin gimana ngeliat para anak-anak punk Surabaya mengeluarkan jiwa-jiwa musik mereka khususna jiwa punk sendiri. Ternyata pas dah nyampe tempat tujuan jauh dari apa yg kubayangkan, pedahal yg aku bayangkan ngeliat debu yg mengepul tinggi dengan iringan pogo penuh semanget punk, keluar kata yel-yel yg selalu di teriakan anak-anak punk “oi … oi … oi”, lagu-lagu ciri khas punk “Fuck The Police”.? Ga satupun yg aku liat, debu, pogo yg penuh semanget and rame. Kebanyakan mereka cuman duduk-duduk sama tepuk tangan doank. Jujur walaupun aku bukan anak punk sejati (kalo kata anak-anak TUTAB mah) dahiku langsung mengkerut pas ngeliat aksi anak-anak underground surabaya (katanya se mereka mengakuinya gitu). Kemana jiwa punknya rek??!! bawain lagu “For The Punk” aja seperti denger tangisan bayi, lagu sama musik ga karuan, style boleh sangar … PUNK ABIEZ tapi jiwana ga ada blas. Ternyata yg aku perhatiin dari sebagian anak-anak punk Surabaya, mereka cuman ke style doank tapi jiwana ga ada. “GW ANAK PUNK YG LAGI BAMBUNG DI GANG SETAN” ternyata cuman punk bambung tapi di tanya tentang punk doank kagak ngerti, band punk yg tau cuman RANCID ma RAMONES … bleh.? Apa mungkin udah bukan masana kale ya, punk yg penuh semangat and Anti Kemapan cuman sebuah slogan dan kebanggan diri saja ternyata disini.

Satu group yg aku suka di antara band kemaren yang tampil pas parade kemaren di AJBS … Titik Koma (i like your song bro) vokalis na T.O.P.B.G.T walapun bawain lagu hardcore tapi tetep lembut suarana … METAL abizzzzzzzzzzz. Sayang ga ada yg pogo atau penonton yg antusias ma lagu-laguna. Tapi heran pas ada lagu yg vokalisna banci plus maenna awut-awutan baru ada yg pogo ( selidik punya selidik ternyata tuh band temen-temenna yg punya EO) pantes aja walaupun maen ga enak blas, nyetel alat musik yg lamana audibilah, crew yg pada ngumpul di atas panggung cuman poto-potoan koncoe dewe.

Surabaya Underground??? <<< PAYAH